Upaya kolektif masyarakat adat Haruku di Indonesia dalam menyelaraskan praktik adat dan pembangunan
by Anggita Indari
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Terletak 30 menit hingga satu jam perjalanan laut dari Ambon, Ibukota Provinsi Maluku, Indonesia, Pulau Haruku bisa dibilang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Tidak ada gedung mentereng dan lautan manusia memenuhi pusat perbelanjaan. Di pulau ini, siapapun dapat dengan mudah menjumpai masyarakat lokal menjajakan hasil tangkapan laut ataupun hasil kebun di beberapa pasar tradisional. Tak mengherankan, sebab secara geografis, Pulau Haruku memiliki dikelilingi laut dan memiliki ekosistem hutan yang lebat. Secara administratif sendiri, pulau ini merupakan salah satu kecamatan, yakni Kecamatan Haruku, yang terletak di Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Di Pulau Harukulah Martha Magdalena Patty atau akrab disapa Lenny dan masyarakat adat melaksanakan kegiatan penelitian yang dipimpin komunitas. Lenny merupakan salah satu anggota Global Advocacy Team (GAT), sebuah inisiatif kolektif yang digagas oleh International Accountability Project (IAP) sejak 2021. Melalui forum GAT, 8 aktivis dan penggerak masyarakat berkumpul dan membagikan ide, gagasan, serta pengalaman mereka dalam mewujudkan pembangunan berbasis komunitas. Selain Lenny, anggota GAT lainnya berasal dari Armenia, Filipina, India, Haiti, Kenya, Paraguay, dan Zimbabwe.
Saat ini, Lenny aktif sebagai ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Maluku, organisasi independen yang bergerak dalam advokasi hak-hak masyarakat adat di Indonesia. Kerja-kerjanya Bersama AMAN di Maluku membuatnya banyak menyaksikan bagaimana pengetahuan dan hukum adat yang diterapkan di Maluku sejak berabad-abad lalu mampu mengatur pengelolaan sumber daya dan pembangunan yang berkelanjutan, termasuk juga di wilayah Pulau Haruku.
Haruku yang bertahan karena pengetahuan adat
“Haruku selalu kami pakai sebagai contoh bagi kampung lainnya karena di sana masyarakat menerapkan hukum dan pengetahuan adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan,” tutur Leny.
Sejak abad ke-17, Pulau Haruku memiliki kelembagaan adat yang disebut Saniri Negeri. Dalam kelembagaan adat ini, Raja Negeri Haruku menempati posisi tertinggi disusul oleh polisi adat yang dikenal dengan sebutan Kewang. Jauh sebelum masyarakat modern mengenal konsep pembangunan berkelanjutan dan konservasi, Kewang telah menerapkan kearifan lokal yang dikenal dengan sebutan Sasi, “Kewang bertugas menjaga laut dan hutan agar tetap lestari dan berkelanjutan dengan Sasi, aturan adat terkait pengelolaan sumber daya alam yang terdapat di darat maupun laut,” ungkap Lenny.
Sasi memuat aturan yang melarang eksploitasi alam. Dalam praktiknya, masyarakat dilarang untuk mengambil hasil alam dari suatu area dalam periode waktu tertentu. Untuk kemudian memanennya dalam waktu yang telah disepakati. Tujuannya agar alam dapat pulih setelah dimanfaatkan oleh manusia. Jika ada anggota masyarakat kedapatan melanggar Sasi, mereka harus menjalani sidang adat dan menerima sanksi yang telah ditentukan.
Menurut Lenny, tidak ada kendala yang dihadapi Kewang dan anggota masyarakat lainnya dalam menerapkan Sasi, “sejauh ini, tidak ada kendala dalam penerapan aturan adat, sebab aturan itu sudah berlaku dari dulu hingga saat ini.”
Hingga saat ini, Sasi belum secara resmi diakui dalam undang-undang di Indonesia, namun pemerintah setempat mendukung berjalannya Sasi. Prosesi Sasi yang unik menjadi daya tarik pariwisata di wilayah Pulau Haruku. Menurut Lenny, hal tersebut sempat menimbulkan pergesekan antara pemerintah setempat dan komunitas adat di Haruku, “sekitar 2015 atau 2016, pemerintah sempat menentukan tanggal Sasi untuk kepentingan pariwisata tanpa membicarakannya pada Kewang. Sasi yang dilakukan gagal karena itu tidak sesuai adat. Sejak itu, mereka tidak pernah ikut campur lagi. Mereka memberi dukungan dengan datang saat pembukaan Sasi dan mendorong wilayah lain di Maluku untuk menerapkan Sasi.”
Selain menerapkan Sasi, Kewang juga berwenang untuk memberikan izin terhadap pembangunan yang terjadi di wilayah Pulau Haruku, terutama jika pembangunan tersebut memanfaatkan hasil alam. Izin harus dikeluarkan secara adat, meskipun lahan atau hasil alam yang dimanfaatkan merupakan milik pribadi.
Tingginya penghormatan masyarakat di Pulau Haruku terhadap aturan adat membuat mereka mampu mempertahankan lahan yang telah mereka tinggali secara turun temurun sejak dahulu. Menurut Lenny, Pulau Haruku sempat dilirik oleh perusahaan tambang karena potensi emas yang dimiliki, namun kuatnya sistem adat yang dipegang teguh masyarakat membuat perusahaan tersebut hengkang dari pulau tersebut, “pada 1996, ada perusahaan tambang emas yang mencoba melakukan eksplorasi di sini, tetapi mendapatkan perlawanan keras dari masyarakat adat Haruku. Sehingga pada akhirnya perusahaan tersebut pergi.”
Cemas akan perubahan iklim
Tantangan yang dihadapi masyarakat adat Haruku justru datang dari alam. Haruku merupakan pulau kecil dengan luas 150km2 yang rentan terdampak perubahan iklim. Lenny menuturkan, dalam 10 tahun terakhir, kenaikan permukaan air laut di Pulau Haruku cukup pesat. Kini, wilayah di sekitar pesisir pantai kerap kali terendam banjir rob saat air laut sedang pasang dan musim gelombang besar sedang berlangsung.
Dampak terparah dirasakan pada 2022. Di pertengahan tahun, air pasang dan gelombang besar mengakibatkan banjir dan longsor di banyak titik di Pulau Haruku. Setidaknya 200 rumah terdampak dan 50 di antaranya rusak berat, 1 jembatan rusak berat dan memutus satu-satunya akses transportasi darat di Pulau Haruku, talud pantai yang dibangun untuk mencegah erosi mengalami kerusakan berat, mengakibatkan 750 warga terpaksa harus tinggal di pengungsian.
Di samping itu, cuaca yang mulai sulit diprediksi menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi mayoritas penduduk yang berprofesi sebagai nelayan, “biasanya musim ombak atau biasa kami sebut musim timur datang dari Mei sampai Agustus saja. Namun kini, musim timur masih terjadi sampai Oktober.”
Kegelisahan tersebut diungkapkan masyarakat adat Haruku selama penelitian berlangsung. Lenny menuturkan, cuaca dan laut yang tidak bersahabat membuat nelayan sulit memperoleh tangkapan. Arus dan ombak yang besar juga dapat mengancam nyawa para nelayan, “perubahan-perubahan ini sangat menyulitkan dan tentunya nelayan juga merasakan dampak dari hal ini di mana menangkap ikan menjadi sulit karena laut yang tidak bersahabat dan nelayan bisa saja kehilangan nyawa akibat terbawa arus.”
Global Advocacy Team (GAT) membawa angin segar
Dalam keadaan seperti ini, masyarakat adat Haruku menaruh harapan besar terhadap pemerintah setempat. Selama ini, pemerintah setempat memiliki respons yang cepat dalam menyalurkan bantuan terkait bencana. Namun, jika berbicara mengenai pembangunan, menurut mereka apa yang dilakukan tidak sesuai dengan konteks Haruku sebagai pulau kecil yang rentan terdampak perubahan iklim, “kami gelisah sebab pembangunan yang dilakukan kadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, karena kadang kami di kepulauan disamakan dengan pembangunan yang dilakukan di daratan dan (apa yang dilakukan) akhirnya menjadi sia-sia,” tutur Lenny.
GAT menjadi angin segar bagi Lenny dan masyarakat adat Haruku untuk memulai merencakan kembali pembangunan apa yang dibutuhkan di komunitas mereka. Lenny sebagai salah satu anggota GAT mengajak masyarakat adat Haruku untuk menjadikan penelitian yang dipimpin komunitas sebagai alat untuk mendukung upaya tersebut. Tidak butuh waktu lama untuk meyakinkan para anggota masyarakat adat Haruku untuk terlibat dalam kegiatan penelitian ini, sebab mereka telah merasakan betapa buruknya dampak bencana alam yang mulai sering terjadi, “dulu mereka tidak terlalu memahami pentingnya kegiatan seperti ini, tetapi setelah begitu banyak hal terjadi seperti bencana alam, gempa dan banjir dan juga pendampingan yang dilakukan selama ini bersama AMAN Wilayah Maluku, mereka semakin sadar akan hal itu,” ungkap Lenny.
Tak selamanya penelitian yang dilakukan berjalan lancar. Menurut Lenny, terkadang ada pemahaman berbeda yang dimiliki tiap anggota masyarakat. Ada sebagian kelompok yang meyakini bahwa permasalahan pembangunan hanya menyoal infrastruktur di kampung saja. Ada pula yang melihat permasalahan ini dalam cara pandang yang lebih luas, bahwa sudah seharusnya pemerintah membuka peluang keterlibatan dan akses terhadap informasi mengenai pembangunan kepada masyarakat luas, sehingga upaya yang dilakukan nantinya tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat pesisir dan pulau kecil di Haruku.
Kini, penelitian telah dilakukan selama tiga bulan. Lenny berharap hasil penelitian ini mampu memperkuat komunitas adat di Haruku dalam merencanakan pembangunan di wilayahnya. Ia percaya bahwa adanya perencanaan pembangunan yang matang dan penguatan kearifan lokal seperti Sasi dapat menjadi modal kuat dalam mempertahankan tanah adat yang mereka tinggali.
“Kami mendapat banyak pengetahuan dan pandangan yang disampaikan secara langsung oleh masyarakat yang mungkin tidak dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan publik dan mereka merasa bebas untuk mengutarakannya tanpa khawatir identitas mereka diketahui. Kami ingin mereka tahu bahwa apa yang menjadi keresahan dan keinginan mereka dapat mereka wujudkan sendiri dengan terlibat dalam perencanaan pembangunan di komunitasnya.”
Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian cerita 8 anggota Global Advocacy Team (GAT) dalam upaya mewujudkan pembangunan yang dipimpim komunitas. GAT mengumpulkan penggerak komuniatas dari seluruh dunia untuk memulai penelitian yang dipimpin komunitas dan melakukan mobilisasi publik dalam mewujudkan perubahan baik dalam proses perencanaan, pendanaan, dan penerapan pembangunan. Baca lebih lanjut mengenai GAT.
Anggita Indari adalah bagian dari Tim Komunikasi International Accountability Project dan juga Atlas Corp Fellow.